Powered By Blogger

Sabtu, 26 Februari 2011

TENTANG HAKEKAT ILMU

Pernahkah anda melihat patung yang termasyhur dari Auguste Rodin: seorang mahasiswa yang sedang tekun berpikir ? Dialah lambang kemanusiaan kita, Homo sapiens, mahluk yang berpikir. Setiap hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut peri kehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi, dari pertanyaan yang menyangkut sarapan pagi sampai soal persoalan surga dan neraka di akhir nanti. Berpikir itulah yang mencirikan hakekat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia.

Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak pemikiran ini dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari objek yang mana objek-objek kehidupan yang kongkret dinyatakan dengan kata-kata. Dapat dibayangkan betapa sukarnya proses berpikir tersebut tanpa adanya lambang-lambang yang mengabstraksikan berbagai gejala kehidupan. Matematika yang merupakan serangkaian lambang yang pada hakikatnya mempunyai fungsi yang same dengan bahasa. Sejak seorang bayi mulai bisa berkata-kata, orang tuanya mulai mengajarkan bahasa, dan setelah anak itu cukup usia maka mulailah dia diajarkan berhitung. Yang pertama merupakan bahasa verbal dan yang kedua merupakan bahasa yang mempergunakan angka. Mempergunakan kedua bahasa itulah dia mulai berkomunikasi dengan lingkungannya. Setelah anak itu berumur enam atau tujuh tahun maka dia pun memasuki sekolah untuk mempelajari bahasa tertulis. Disana anak itu mulai diperkenalkan kepada proses kegiatan berpikir secara formal; suatu kegiatan yang untuk selanjutnya takkan pernah berhenti sampai akhir hayatnya.

Pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir merupakan obor dan semen peradaban dimana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Meskipun kelihatannya tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakekatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yakni : Apakah yang ingin diketahui ? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita.

Pernyataan itu kelihatan sederhana namun mencakup permasalahan yang sangat asasi. Berbagai buah pemikiran yang besar sebenarnya merupakan serangkaian jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan tadi. Pemikiran-pemikiran besar dalam sejarah kebudayaan manusia dapat dicirikan dan dibedakan dari cara mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Seperti juga langkah-langkah pembukaan dalam sebuah permainan catur maka berbagai aliran dalam pemikiran manusia dapat tersusun kepada pembukaan dasar yang mengawali kegiatan berpikirnya. Kunci pembukaan itu adalah bagaimana mereka menjawab ketiga masalah pokok tersebut yang merupakan titik tolak dalam pengembangan pemikiran selanjutnya.

Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Seperti kata peribahasa Perancis, “Mengerti berarti memaafkan segalanya,” maka pengertian yang mendalam terhadap hakikat ilmu, bukan saja akan meningkatkan apresiasi kita terhadap ilmu namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangannya.

Mereka yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui hakikat ilmu yang sebenarnya. Demikian juga sebaliknya dengan mereka yang memalingkan muka dari ilmu, mereka yang tidak mau melihat kenyataan betapa ilmu telah membentuk peradaban seperti apa yang kita punyai sekarang ini, kepicikan seperti itu kemungkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakikat ilmu yang sebenarnya. Menghadapi dua pola pendapat yang ekstrem ini seyogianya kita harus berdiri di tengah dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang memberikan kebenaran namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat asal diletakkan pada tempatnya yang layak. Kehidupan terlalu rumit untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran. Adalah ketinggi hatian yang tidak mempunyai dasar sama sekali, bila kita beranggapan bahwa ilmulah alpha dan omega dari kebenaran. Terdapat tempat masing-masing dalam kehidupan manusia bagi falsafah, seni, agama dan sebagainya di samping ilmu. Semuanya bersifat saling membutuhkan dan saling mengisi, seperti apa yang dilakukan Enstein bahwa “ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Dan kepada merekalah, mereka yang ingin mendapatkan kepuasan dari berpikir keilmuan, mereka yang menganggap berpikir bukan sebagai suatu beban namun petualangan yang mengasyikan, mereka melihat kebenaran sebagai tujuan utama kehidupan, mereka yang ingin mengaji hakikat kehidupan dengan lebih mendalam, maka kepada merekalah karangan ini dipersembahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar